August 6, 2009

Pelarian



Kembali ke 14 tahun lalu, pagi-pagi benar mama mengajak aku, cece, Ratna yg waktu itu masih bayi, dan mbak Lia, pembantu kami, ke bandara untuk berangkat ke Bali. Semua terjadi begitu cepat, tidak ada pamitan atau perpisahan, yang ada hanya kami semua terburu-buru pergi. Bisa dibilang pelarian, ya kami memang sedang menghindari sesuatu. Lari dari penagih hutang yang pada waktu itu mengancam keluarga kami. Papa dan mama terbelit hutang yang besar dengan banyak orang karena usaha papa sebagai kontraktor tidak berjalan sesuai rencana. Masalah keuangan yang gak bisa dimengerti anak seusiaku waktu itu. Setelah beranjak dewasa sekarang aku mendengar kembali cerita dari salah satu tanteku dari Bogor dan akhirnya aku mendapat gambaran yang lebih jelas tentang hari itu. Papa mendapat proyek pembangunan dari PUSRI (Pupuk Sriwijaya) dengan jumlah uang yang besar. Kalau kita lihat sekilas proyek ini memang akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Tetapi dibalik itu semua, uang yang dikeluarkan pun cukup besar untuk membuat jalan menjadi lancar. Maksudnya adalah uang pelicin untuk menyogok para pejabat dan petinggi perusahaan tersebut. Untuk mendapatkan ‘modal’ itulah papa meminjam uang dari berbagai pihak termasuk dari teman-temannya. Surat rumah pun dijadikan jaminan agar dapat meminjam dari bank. Karena tidak pernah cukup, maka hutang papa semakin besar sampai-sampai mama juga harus meminjam uang dari teman-temannya juga supaya bisa menutupi pembiayaan proyek tersebut. Gali lubang tutup lubang ini terus berlanjut sampai pada klimaksnya dimana papa mama sudah tidak sanggup lagi dan dibuatlah keputusan untuk melarikan diri. Tidak hanya dampak negatif yang aku peroleh tapi ada juga yang positif, hari itu juga jadi hari pertamaku naek pesawat terbang hehehe…

Mama dibantu oleh teman lamanya dari Lubuk Linggau yang sudah lama tinggal di Bali. Kami menginap di hotel di tepi pantai begitu tiba di Bali, hotel kecil tapi karena di pinggir pantai jadinya asik banget. Tiap sore aku sering main ombak dan pasir di pantai. Selama tinggal di hotel itu aku sering melihat mama menangis dan stres. Yang paling sering terlihat adalah adegan menangis. Saat itu aku sama sekali tidak mengerti walaupun dijelaskan apa yang telah terjadi, namun sekarang aku bisa memahami bagaimana mama berjuang agar kami anak-anak dapat terus memperoleh penghidupan yang layak. Dibalik banyak omongan kerabat dekat kami yang negatif soal mama meninggalkan papa, mama membuktikan dengan merawat dan menyekolahkan kami. Cece telah menjadi Dokter Gigi, aku mendapat gelar Sarjana Seni, dan Ratna sekarang kuliah di jurusan yang sama denganku. Selang beberapa waktu setelah itu aku n cece didaftarkan masuk sekolah SDK Swastiastu (sekarang SDK Santo Yoseph), aku kelas 3 SD dan ceceku kelas 5 SD. Kami pun mendapatkan banyak teman baru. Papa sempat menyusul ke Bali dalam keadaan stres berat dan hampir gila. Aku dan cece bertemu papa di sekolah karena papa diantar kokonya kesana, terus akhirnya papa tinggal bareng kami yang waktu itu sudah mengontrak rumah di gang Batok, Gn.Lempuyang Monang Maning, Denpasar. Tapi tidak lama, papa menjadi tambah stres waktu sampai akhirnya aku, mama, cece, Ratna dan mbak Lia lari ke Jogja menghindari papa yang sudah menjadi gila.

0 comments:

 

Fruitfull © 2011