August 6, 2009

Jogja Setahun



Aku suka banget sama Jogja (Yogyakarta). Tempatnya tenang dan orang-orangnya sangat bersahabat. Kami mengontrak di salah satu rumah di jalan P. Batanta. Pemilik rumah juga tinggal disitu, kami manggil dia Bude. Aku dan cece sekolah di SDK Sang Timur, sekolah Katolik, aku kelas 4 SD sedangkan cece kelas 6 SD. Teman yang aku ingat disitu cuma Andi dan Bowo. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Kalau tidak salah, orang tua Bowo adalah pengrajin batik, aku ingat ketika bermain ke rumahnya aku melihat banyak orang sedang membuat batik. Karena lingkungan tempat tinggal kami termasuk agak jauh dari kota, jadi suasananya tenang banget. Ada sawah…juga ada sungai yang setiap hati aku dan cece lewatin dalam perjalanan ke sekolah naik becak langganan. Pak becaknya tinggal di gang sebelah rumah.

Kami sering jalan-jalan ke Malioboro dan aku paling suka bermain ding-dong di salah satu plasa disitu. Sekalipun sering jalan-jalan sendirian aku tidak pernah dipalak preman :) di salah satu gang di Malioboro kami punya langganan Nasi Gudeg yang enak banget. Ditengah semua suasana baru dan ketenangan Jogja, status kami tetap sama. Pelarian.

Karena sekolah kami Katolik, aku dan cece jadi sering menghadiri Misa Katolik yang diadakan sekolah. Bude pemilik rumah juga penganut Katolik, jadi dia suka mengajak kami sekeluarga pergi ke gereja bersama-sama. Mamaku yang waktu itu juga masih sering menangis dan stres berusaha mencari ketenangan dan kedamaian hati di gereja. Aku rasa itulah awal dimana kami menjadi lebih dekat kepada Tuhan.

Aku ingat teman-teman di sekolah di Jogja sana suka terkagum-kagum dengan namaku, Dharma, dan agamaku waktu itu, Budha. Beberapa dari mereka bilang ‘keren’ karena aku dibilang seperti jagoan-jagoan dalam komik bergambar Tiger Wong walaupun aku tidak menguasai ilmu bela diri seperti tokoh komik tersebut. Suatu hari mama sakit, ada bisul besar di bagian perutnya. Terbaring di ranjang mamaku benar-benar keliatan parah, ditambah lagi semua masalah yang terjadi dan belum ada penyelesaian. Putus asa, tertekan, marah, benci, patah semangat, susah… tapi mamaku masih punya kasih buat anak-anaknya. Masih menaruh pengharapan yang besar dalam anak-anaknya. Aku pikir itulah sumber energi terbesar yang mamaku miliki untuk terus hidup dan berjuang sampai hari ini. Buktinya… Aku, cece n Ratna tetap exist sampai hari ini. Yang aku yakin juga, mamaku udah mulai percaya sama Tuhan dan banyak berserah kepadaNya sejak kami tinggal di Jogja.

Selama setahun di Jogja aku mendengar banyak berita tentang papaku yang saat itu masih di Bali. Saat kami semua kabur ke Jogja papa menjadi tambah stres dan semakin terganggu kejiwaannya. Papa jadi sering berbicara sendiri kepada sepatu-sepatu sekolah kami yang tertinggal di Bali karena sepatu-sepatu itu dianggap sebagai anak-anaknya (kami) dan yang lebih parah adalah pup sembarangan di dalam rumah. Papa waktu itu sempat dikasi kesempatan sama temen mamaku ini membuka sebuah toko barang kerajinan di Kuta tapi papa tidak sanggup kerja lagi karena stres dan tekanan berat sebagai pelarian. Belakangan kami juga mengetahui bahwa katika kami pergi dari Palembang papa sempat ditahan Polisi dan dipenjara selama beberapa waktu tetapi akhirnya boleh keluar setelah dengan jaminan yang diberikan oleh kakaknya. Di Bali dalam keadaan papa yang bertambah gila, akhirnya diputuskan untuk memasukkan papa ke Rumah Sakit Jiwa di Bangli. Namun tidak lama kemudian karena papa masih setengah sadar, papa menghubungi kakaknya untuk minta dijemput. Kalau tidak salah kakak papa dari Jakarta, lalu papa dibawa kembali ke Jakarta. Setelah keadaan tenang, waktu aku masuk kelas 5 SD, kami sekeluarga kembali ke Bali dan tinggal di rumah kontrakan di Jl. Gn. Sangga Buana, Monang-Maning, Denpasar…

0 comments:

 

Fruitfull © 2011